Sabtu, 14 Agustus 2010

PETERNAKAN SAPI PERAH


Visi pembangunan peternakan adalah pertanian berkebudayaan industri, dengan landasan efesiensi, produktivitas, dan berkelanjutan. Peternakan masa depan dihadapkan pada perubahan mendasar akibat perubahan ekonomi global, perkembangan teknologi biologis, berbagai kesepakatan internasional, tuntutan produk, kemasan produk, dan kelestarian lingkungan. Konkritnya, peternakan Indonesia akan bersaing ketat dengan peternakan negara lain bukan saja merebut pasar internasional tapi juga dalam merebut pasar dalam negeri Indonesia. Untuk itu perlu mendorong peternak agar tetap mampu bersaing baik pada skala lokal, regional dan nasional maupun internasional.
Salah satu usaha budidaya peternakan yang sekarang ini banyak dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan gizi adalah sapi perah. Usaha ternak sapi perah di Indonesia masih bersifat subsistem oleh peternak kecil dan belum mencapai usaha yang berorientasi ekonomi. Rendahnya tingkat produktivitas ternak tersebut lebih disebabkan oleh kurangnya modal, serta pengetahuan/keterampilan peternak yang mencakup aspek reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pascapanen, penerapan sistem pencatatan, pemerahan, sanitasi, dan pencegahan penyakit. Selain itu pengetahuan peternak mengenai aspek tataniaga harus ditingkatkan sehingga keuntungan yang diperoleh sebanding dengan pemeliharaannya.
Menurut Laporan Direktorat Jenderal Peternakan, Indonesia masih mengimpor susu 80 % setiap tahunnya. Produksi susu nasional belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan konsumsi dan impor susu akan terus meningkat, sehingga perlu peningkatan populasi dan efesiensi produksi susu serta diversifikasi ternak perah. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka disamping usaha yang dilakukan pemerintah maupun swasta, usaha peternakan sapi, kerbau, dan kambing perah mempunyai prospek untuk dikembangkan pada masa sekarang dan yang akan datang.
Ketidakseimbangan produksi dengan permintaan konsumen dalam waktu yang lama menyebabkan penurunan populasi beberapa jenis ternak dan sentra pengembangannya di Indonesia, khususnya terhadap sapi perah. Keadaan ini merupakan peluang dan tantangan dalam rangka otonomi daerah untuk mengupayakan pengembangan komoditi peternakan dan sumberdaya alam (SDA) yang berbasis lokal dan sumberdaya manusia (SDM) serta sumberdaya buatan yang tersedia.

S
ubsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat Statistik mencatat bahwa subsektor peternakan menyumbang Rp. 33 309.9 Milyar (12.75 persen) dari jumlah total PDB sektor pertanian secara nasional. Permintaan terhadap komoditi peternakan sebagai sumber protein hewani diperkirakan akan semakin meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk dan  meningkatnya kesadaran akan gizi masyarakat.
Susu sebagai salah satu hasil komoditi peternakan, adalah bahan makanan yang menjadi sumber gizi atau zat protein hewani. Kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat kesadaran kebutuhan gizi masyarakat yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya konsumsi susu dari 6.8 liter/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 7.7 liter/kapita/tahun pada tahun 2008 (setara dengan 25 g/kapita/hari) yang merupakan angka tertinggi sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2008 dan Sinar Harapan, 2007). Pembangunan sub sektor petemakan, khususnya pengembangan usaha sapi perah, merupakan salah satu alternatif upaya peningkatan penyediaan sumber kebutuhan protein.
Permintaan terhadap komoditi susu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, tetapi produksi susu nasional belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan impor susu dari luar negeri. Selain melakukan impor pemerintah juga melakukan ekspor susu dalam bentuk susu olahan.
Pengembangan usaha sapi perah merupakan salah satu alternatif dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat serta pengurangan tingkat ketergantungan nasional terhadap impor susu. Sebenarnya usaha persusuan di Indonesia sudah sejak lama dikembangkan. Usaha ternak sapi perah di Indonesia didominasi oleh skala kecil dengan kepemilikan ternak kurang dari empat ekor (80 persen), empat sampai tujuh ekor (17 persen), dan lebih dari tujuh ekor (tiga persen). Hal itu menunjukkan bahwa sekitar 64 persen produksi susu nasional disumbangkan oleh usaha ternak sapi perah skala kecil, sisanya 28 dan delapan persen diproduksi oleh usaha ternak sapi perah skala menengah dan usaha ternak sapi perah skala besar Erwidodo (1998) dan (Swastika et al., 2005). Sehingga dengan keragaan usaha ternak sapi perah kita yang masih sangat kecil, menyebabkan ketidakmampuan untuk bersaing dengan produk impor. Kondisi  ini tentunya akan memperlemah daya saing usaha usaha ternak sapi perah di Indonesia. Faktor pemicu daya saing terdiri dari teknologi, produktivitas, harga dan biaya input, struktur industri, serta kuantitas permintaan domestik dan ekspor.  Faktor-faktor itu dapat dibedakan atas: (1) Faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya riset dan pengembangan; (2) faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar uang), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, serta pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3) faktor yang semi terkendali, seperti kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik; dan (4) Faktor yang tidak dapat dikendalikann, seperti lingkungan alam.  Dengan demikian, apabila pemerintah mampu memperbaiki faktor-faktor pemicu di atas, maka diharapkan komoditas susu segar lokal dapat berkembang sebagai komoditas substitusi susu impor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar